Pasca Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq dipilih dan
disepakati oleh kaum Muslimin melalui musyawarah untuk menjadi pemimpin
menggantikan posisi Rasulullah SAW.
Dapat dibayangkan kesulitan Abu Bakar dalam memimpin umat
yang sebelumnya kuat dilandasi oleh ikatan kekerabatan (kabilah), tidak
mengenal aturan, buta huruf, pelanggaran kehormatan, dan penyerangan terhadap
saudara maupun kerabat.
Dapat pula dibayangkan beratnya Abu Bakar dalam mentransformasikan konsep
"Jamaah Islamiyah" menjadi "Daulah Islamiyah".
Sadar bahwa suatu bangsa tidak
mungkin menjadi besar kecuali telah melampaui proses ratusan tahun, satu jalan
alternatif untuk mempercepat akselerasi kebesaran itu antara lain dengan
menjalin kesatuan hati dan pemahaman yang sama tentang konsep kekuasaan.
Maka Abu Bakar menerapkan konsep
kepemimpinan yang benar, yaitu pemimpin yang ditaati kendati terkadang terdapat
perbedaan pandangan dalam melihat beberapa permasalahan.
Program pertama yang digagas Abu
Bakar adalah memerangi orang-orang murtad (keluar dari agama Islam)
pascawafatnya Rasulullah SAW. Guna menyukseskan gagasan tersebut, Abu Bakar
melakukan berbagai rangkaian pendekatan dan konsultasi kepada para sahabat.
Sebagian kecil sahabat setuju, sementara sebagian besarnya menentang.
Namun, tidak ada satu pun dari
mereka yang mengatakan berbeda pendapat dengan lugas, kemudian tidak menaati
Abu Bakar. Mereka tetap taat kepada Abu Bakar karena sadar, sekiranya mereka
berselisih, maka Islam tidak akan berdiri tegak.
Perselisihan hanya akan membawa
orang-orang murtad menyerang Islam dan melumpuhkan kekuatannya. Oleh karenanya,
ketaatan kepada pemimpin menjadi perkara yang wajib bagi para sahabat karena
mengandung kekuatan, kebaikan, kemuliaan dan keagungan.
Dalam perjalanannya Abu Bakar
menunjuk Usamah memimpin pasukan kaum Muslimin. Sebagian sahabat lagi-lagi
kurang setuju dengan penunjukan tersebut. Akan tetapi, ketika Abu Bakar
meyakinkan pandangannya dan bertekad melaksanakan gagasannya, semua sahabat
tanpa kecuali taat dan menjalankan perintahnya.
Tidak ada seorang pun dari sahabat
yang berkata bahwa pendapatnya berbeda secara diametral lalu menentang Abu
Bakar. Para sahabat tetap mengambil posisi taat kepada pemimpin karena rahasia
kekuatan, kebaikan, kemuliaan dan keagungan yang terkandung di dalamnya.
Maka demikianlah, dalam waktu yang
relatif singkat, kaum Muslimin berhasil menjalin persatuan yang kuat, disamping
kebaikan, kemuliaan dan keagungan umat Islam. Orang-orang murtad berhasil
ditumpas, kendati dengan pengorbanan gugurnya puluhan syuhada dari kelompok
penghafal Alquran.
Demikianlah etika mulia dari para
sahabat dalam kisah kepemimpinan yang memprioritaskan kepentingan umat
dibanding kepentingan diri sendiri maupun kelompok.
Memberikan nasihat kepada pemimpin
adalah hak orang yang dipimpin. Namun di dalam pelaksanaan hak dan kewajiban
sesungguhnya terdapat pertimbangan kepatutan, sehingga dalam menyampaikan
kritik membangun diperlukan cara-cara santun dan proporsional agar tetap patut
dan tidak melahirkan cibiran orang. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar